Kampung Batik Laweyan



Kampung Batik Laweyan

Bukan hanya tempat belanja batik dan belajar membatik semata, Kampung Laweyan merupakan tempat wisata dengan pesona luar biasa. Di kampung itu pulalah muncul tokoh-tokoh pergerakan menentang penjajahan. Hingga kini, aura masa lalu Laweyan masih terasa, terutama ditunjukkan oleh adanya bangunan-bangunan kuno, yang tertutup dengan tembok-tembok tinggi. Asyik jika menyusuri lorong-lorongnya.


Sejarah batik Surakarta, pun diyakini berasal dari Laweyan, yang dikenalkan pertama kali semasa Kerajaan Pajang dengan pelopor Kyai Ageng Henis, pada awal abad ke-16. Maka, batik Surakarta itu, ya Laweyan. Dari tlatah Pajang, batik mengular menyesuaikan alur Kali Laweyan, masuk Bengawan Solo dan seterusnya sampai ke Laut Jawa, hingga muncullah motif batik pesisiran. Ekspor barang dari Indonesia dalam pengertian modern, konon berupa batik asal Laweyan pada awal 1930-an.
Kenapa batik Surakarta harus identik dengan Laweyan, sebab di sanalah konon batik bermula, diproduksi secara turun-temurun. Kyai Ageng Henis-lah yang memperkenalkan batik kepada penduduk sekitar Pajang pada awal abad ke-16. Setidaknya, begitulah yang diyakini warga Laweyan hingga kini.

Asal tahu saja, masyarakat Laweyan masih bertahan pada definisi batik, yang tidak hanya merujuk pada sebuah motif semata. Mereka menolak produk pabrikan, yang dibuat dengan menggunakan mesin-mesin modern dengan sebutan “batik”.
“Disebut batik itu, ya bila dibuat dengan menggunakan malam (lilin) dan melalui proses pewarnaan tertentu,” ujar Gunawan, pemilik rumah batik Putra Laweyan.
Tak hanya Gunawan, Widhiarso, juga mengatakan hal yang sama. “Jadi, batik itu bukan terbatas pada motif,” ujar pengurus harian Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan itu.
Naik-turun usaha batik Laweyan selalu beriringan dengan dinamika politik nusantara, sejak sebelum maupun setelah bernama Indonesia. Pada masa penjajahan dulu, Laweyan selalu dikontrol ketat oleh pemerintah kolonial Belanda, apalagi sejak Kyai Samanhudi membentuk organisasi perlawanan bernama Sarekat Dagang Islam. Proses pemasaran batik pun tak laluasa dilakukan.

Laweyan sendiri, berasal dari kata lawe, yakni serat-serat kapas halus yang merupakan bahan baku pembuatan kain mori. Kata Laweyan menunjukkan tempat dimana banyak benang lawe di sana.
Tapi, wajah Laweyan kini sudah tak semuram beberapa puluhan tahun silam. Popularitas batik yang kian meningkat, bahkan ke kalangan anak-anak baru gede dan remaja, membuat kebutuhan akan bahan batik terdongkrak pula. Dan Laweyan, kini mulai menggeliat. Bila hingga 2004 lalu hanya tersisa 11 usaha batik, kini sudah mencapai 60-an orang yang menghidupkan kembali usaha batik, khususnya batik cap dan batik tulis.
Dalam beberapa tahun terakhir, batik menjadi tren. Tidak lagi untuk yang berumur paruh baya atau instansi tertentu, batik kini populer di kalangan anak muda. Model, warna, dan motifnya yang lebih bervariasi membuat batik tidak lagi monoton. Anak muda pun jadi percaya diri saat mengenakan batik. Nah travelers, supaya kamu ada referensi dimana bisa mendapatkan kain atau baju batik berkualitas, kali ini PegiPegi mau kasih informasi tentang salah satu pusat batik home-made di Solo. Namanya Kampung Batik Laweyan. So, saat jalan-jalan ke kota ini, kamu bisa mampir untuk menambah koleksi batik yang bisa dipakai untuk berbagai acara.
Saat memasuki kampung ini, nuansa jadul alias jaman dulu sangat kental terasa. Ini bisa dilihat dari bangunan-bangunan kuno berarsitektur Eropa: megah, kokoh, bertembok tinggi, serta memiliki lorong-lorong panjang yang mengular. Menurut sejarah, batik Laweyan ini dipelopori oleh Kyai Ageng Henis yang hidup pada abad ke-16, tepatnya pada masa Kerajaan Pajang.
Kini, pengusaha batik di Kampung Laweyan sudah banyak. Mereka berprinsip untuk menggunakan malam (lilin) dan melakukan proses pewarnaan dengan bahan alami yang sudah dilakukan sejak pertama kali dibuat. Mereka secara tegas menolak membuat batik dengan mesin-mesin modern karena sudah tidak sesuai dengan sejarah pembuatan batik itu sendiri.


Industri rumahan batik juga mengalami dinamika naik-turun, seperti pada masa pemerintahan Hindia Belanda, masa orde lama, orde baru, dan reformasi. Hal ini pun berpengaruh pada motif yang awalnya monoton,  dan sekarang lebih dinamis karena para perajin batik bisa berimajinasi dan berkreasi membuat motif yang sesuai dengan keadaan zaman.
Warna yang dihasilkan pun sudah tidak kuno lagi. Kini, di Kampung Batik Laweyan kamu bisa melihat banyak sekali warna cerah dengan motif modern. Kondisi ini pun dilirik oleh anak muda karena saat kamu berjalan-jalan Laweyan, kamu bisa melihat dan memilih corak, warna, tipe, model, dan motif yang beraneka ragam.
Kampung Batik Laweyan adalah salah satu daerah wisata yang sengaja disediakan oleh pemerintah Kota Solo untuk mengundang para wisatawan asing dan domestik melihat-lihat Batik. Kampung Batik Laweyan dinilai sebagai kawasan sentra Batik di Kota Solo dan sudah ada sejak zaman kerajaan Pajang tahunn 1546 M. Kawasan Kampung Batik Laweyan ini sempat meraih kejayaannya pada tahun 1970an. Kampung Batik Laweyan didesain dengan konsep terpadu, dengan memanfaatkan lahan seluas kurang lebih 24 ha yang terdiri dari 3 blok.


 Di dalam Kampung Batik Laweyan tersebut, terdapat ratusan pengrajin Batik yang menjual berbagai motif, seperti Tirto Tejo dan Truntum dengan beragam variasi harga. Selain batik, Kampung Batik Laweyan juga menyimpan kekayaan arsitektur Jawa kuno. Kampung Batik Laweyan telah menjadi sentra industri batik sejak jaman kerajaan Pajang pada tahun 1546. Kampung Batik Laweyan juga terkenal dengan bentuk bangunan dan kondisi lingkungan yang khas. Arsitektur rumah tinggal masyarakat Laweyan umumnya dipengaruhi unsur tradisional Jawa, Eropa (Indische), China, dan Islam. Bangunan-bangunan tersebut dilengkaspi dengan pagar tinggi atau 'benteng' yang menyebabkan terbentuknya gang-gang sempit.

No comments:

Post a Comment